KEIKHLASAN
Menjadi ikhlas tidaklah
mudah. Sering seseorang bilang, “Saya ikhlas kok.”
Untuk mengetahui apakah kamu
benar-benar ikhlas maka bertanyalah kepada dirimu sendiri apakah kamu
benar-benar ikhlas. Jika masih terbersit rasa ragu-ragu untuk memberikan
sesuatu kepada orang lain, atau melakukan sesuatu yang tidak ada imbalannya, maka
kamu belum bisa dikatakan ikhlas.
Berbuat sesuatu dengan
ikhlas, biasanya diikuti perasaan yang
dalam dan ada ketenangan di jiwa kita dan tidak mengingat lagi apa yang bukan
milik kita. Sebagai contoh banyak orang kehilangan salah satu atau bahkan lebih dari satu anggota keluarganya pada saat
bencana alam atau bencana apapun. Pasti mereka akan menangis, bahkan ada yang
berteriak histeris meratapi kesedihannya. Hal itu wajar menurut saya, karena
memang manusia itu makhluk yang rapuh dan memiliki perasaan. Manusia lupa bahwa
keluarga, harta benda dan kedudukan adalah titipan dari Allah SWT.
Hal ini pernah menimpa saya
ketika putra pertama saya meninggal karena kecelakaan dan sempat koma selama
sepuluh hari di RS Meilia Cibubur, hati saya terasa terkoyak, serasa tidak
mampu untuk menerima kenyataan. Saya menangis dan berdoa kepada Tuhan Sang
Pencipta. Dengan berjalannya waktu saya mulai dapat menerima keadaan yang
menimpa saya. Saya mulai mengikhlaskannya untuk kembali kepada yang berhak
memiliki, Allah SWT. Demikian juga ketika pasangan hidup saya meninggal karena
sakit. Itupun perlu waktu agak lama untuk ikhlas. Paling tidak saya sudah
berusaha untuk menata hati dan melanjutkan kehidupan yang diberikan Tuhan YME.
Contoh lain, ada suatu
keluarga sebut saja keluarga ibu Tino yang menempati rumah budenya di daerah
Bogor, karena budenya masih tinggal bersama keluarganya di Jakarta maka dia mengijinkannya
untuk menempati rumah dan merawat rumah itu. Sudah bertahun-tahun ibu Tino menempati
rumah di Bogor, walau sebenarnya dia sudah mempunyai rumah sendiri yang dia
beli ketika dia menempati rumah budenya. Dan rumah pribadinya dia kontrakkan ke
orang lain. Lumayan untuk menambah uang belanja.
Namun suatu saat, budenya
ditimpa kesusahan karena suaminya sakit dan akhirnya meninggal, sementara
anak-anaknya sudah berkeluarga dan ada yang menjadi TKI di luar negeri. Budenya
ingin meminta kembali rumahnya karena akan dia jual dan dia memberikan waktu
tiga bulan untuk segera pindah ke rumah sendiri. Ibu Tino kecewa dan marah kepada budenya walau
tidak diungkapkan langsung kepadanya. Dia merasa berat meninggalkan rumah
budenya dan dia merasa waktu tiga bulan adalah waktu yang mendadak baginya.
Tidak ada pilihan lagi
selain pindah ke rumah pribadi. Nah, menjadi ikhlas susahkan, walau rumah itu
bukan miliknya. Cerita ini dapat menjadi bahan pelajaran bagi kita.
Ada cerita lain tentang orang-orang
yang berhutang (uang) kepada kita dalam jumlah yang banyak. Ketika kita menagih
hutang, peminjam hutang selalu memiliki alasan belum bisa membayar. Bahkan
hingga bertahun-tahun hutang itu tidak kunjung dikembalikan. Apakah kita harus
mengikhlaskan? Jawaban ada di diri kita
masing-masing. Namun menjadi ikhlas itu akan menenangkan.
Yuk, mulai sekarang kita
belajar untuk ikhlas agar hati kita lebih tenang! Percaya kepada Tuhan YME,
rejeki kita akan diganti. Kebahagiaan kita bukan hanya sekedar mimpi.
Jonggol, 7 Juli 2022
NANI KUSMIYATI
#lombamenulisblogpgri
#tantanganmenulissetiaphari
#Day 28
Semoga kita yang termasuk ikhlas 🤲
ReplyDeleteSetuju mbk.. bismilah walau berat tp dg hadiah terindah yang akan Allah berikan mka tak ada alasan untuk kita iklas.
ReplyDeleteSlalu nenarik tema yang diangkat, ikhlas mudah diucap tak mudah dilakukan butuh ketulusan yang hakiki
ReplyDeleteSemoga kita terpilih menjadi insan yang ikhlas karna Allah dan terpelihara keihlasannya oleh Allah
ReplyDeleteDari semua cerita mayor, sebagai manusia kita diharapkan untuk bisa minimal bisa belajar tentang iklas,10 kata ini memangringan, semoga kita tergolong orang orang iklas
ReplyDelete