GORESAN HATI UNTUK AYAH
Ayah, kutuliskan kata untuk
merangkai kalimat bernada kerinduan padamu. Putramu teramat sepi ketika harus
menjalani hari-hari sendiri tanda canda dan gurauan ayah. Jarang lagi kita
bertengkar tentang masalah-masalah kecil. Jarang lagi kita berdiskusi tentang bisnis
yang di sukai ayah. Harapan-harapan ayah agar aku menjadi seorang Polisi seperti
kakek sementara bunda menginginkanku melanjutkan belajar S2 di luar negeri.
Tidak jarang ayah memintaku untuk mengikuti beberapa training tapi aku masih
enggan melaksanakannya. Aku masih masih ingin menyelesaikan kuliahku kemudian
memikirkan pekerjaan.
Di depanku sekarang seorang
ayah yang tak berdaya, berbaring dengan jarum infus ditangan. Kabel oksigen
yang terpasang di hidung ayah. Diabets yang naik turun membuatku lebih ekstra
menjaga ayah dengan asupan makan. Obat-obatan dengan berbagai warna dan ukuran
yang harus ayah konsumsi tiap hari.
Jantungku serasa berhenti
berdetak takala melihat ayah menggigil kedinginan karena demam dan keringat bercucuran
disekujur tubuh ayah. Bunyi gemeletuk gigi ayah menahan irama tubuh ayah yang
perlahan-lahan mengeluarkan aliran panas. Aku dekap badan ayah untuk menghibur
dan menenangkan. Aku gosok-gosok kaki, tangan dan dada ayah agar menjadi
hangat.
Aku menjadi tenang tatkala
suster menghampiri dan membawakan botol kecil berisi cairan paracetamol untuk
menurunkan suhu ayah. Paracetamol itu menggantikan tetes-tetes infus yang
berisi makanan. Aku harus terus mengawasi agar botol paracetamol tidak benar-benar
kosong dan dapat segera diganti dengan cairan penambah tenaga ayah.
Ayah tahukan jika aku sempat
panik ketika tubuh ayah menjadi sedingin es dan ayah tak sadarkan diri. Aku
menggoyang-goyang tubuh ayah untuk membuat mata ayah terbuka. Aku berlari
menghampiri suster untuk segera menolong ayah. Suster segera mengecek kadar
gula ayah yang benar-benar drop dan membuat kesadaran ayah hilang sesaat. Botol
infus diganti botol cairan yang berisi glukosa. Suhu badan ayah sedikit demi
sedikit menghangat. Alhamdulillah Tuhan masih menyelamatkan ayah.
Aku melihat ayah mulai
membuka mata dan memandangku. Tidak berapa lama aku mendapat video call dari bunda
yang ingin mengetahui kondisi ayah. Wajah bunda tampak panik namun aku berusaha
menenangkannya dan mengatakan jika ayah baik-baik saja. Aku lihatkan wajah ayah
ke bunda dan bunda berusaha tabah dan memberiku semangat.
“Sabar ya Mas. Bunda mungkin
agak terlambat sampai ke Rumah Sakit. Lihat kendaraan di depan bunda penuh dan
tidak bergerak. Bunda sudah belikan kasur lipat kecil untuk tidur kita dibawah
disamping ayah agar tidak masuk angin.” Kalimat-kalimat bunda terus mengalir
seakan-akan tidak mau berhenti.
“Bunda, OK, nanti bunda
pulang ke rumah bawa keperluan untuk bunda menginap di rumah sakit.” Kataku
untuk membuat suasana hati bunda lebih tenang.
Aku melihat ayah lagi dengan
tatapan mata kosongnya dan aku berusaha menyadarkan ayah. “Minum susunya yuk
Yah. Biar badan ayah bertenaga.” Pintaku kepada ayah dengan memohon.
Ayah hanya bisa mengangguk
tanda setuju untuk meminum susu diabetasol yang lumayan mahal harganya.
Seperempat gelas susu berhasil ayah habiskan. Jumlah itu masih terlalu sedikit
untuk asupan tubuhnya. Aku membujukknya lagi untuk menyeruput seteguk lagi.
Mata ayah sedikit
berbinar-binar melihat kedatangan bunda. Aku tahu ayah sangat mencintai bunda.
Demikian juga bunda yang berhati lembut walau kesan pertama agak garang, sangat
baik kepada ayah dan aku.
Dua bulan terakhir di tahun
2020 ini benar-benar ujian bagiku. Rasanya aku tidak percaya dengan kondisi
ayahku yang tiba-tiba drop. Masih segar dalam ingatanku ketika aku masih kecil
bersama ayah.
Kala itu ayah mengajarkanku
bersepeda dan aku terjatuh berkali-kali namun ayah selalu menyemangatiku hingga
akhirnya sepedaku laju meninggalkan ayah. Kemudian aku berhenti dan aku
menengok ke belakang, ayah melambaikan tangan memintaku kembali. Aku tertegun
sejenak karena aku masih memikirkan cara bagaimana mengayuh agar aku tak
terjatuh. Kuberanikan diri untuk segera menaiki sepeda dan segera melaju kearah
ayah dan aku berhasil.
Senyum ayah mengembang sambil
bertepuk kegirangan melihat putranya kembali. Ayah memelukku dan mengusap
rambutku. Aku semakin bersemangat untuk berlatih dan akhirnya dengan
berjalannya waktu aku dapat mengendarai sepeda kecilku ke sekolah dan ayah
masih mendampingiku dengan sepedah kunonya.
Umurku semakin bertambah dan
aku duduk dikelas dua SMP. Aku melihat teman-temanku mulai belajar bersepeda
motor. Ayah tahu apa yang aku inginkan. Ayah belikan aku sepeda motor second untuk belajar. Besar motor dan
tubuhku tidak seimbang. Motor yang ayah belikan lebih tinggi dari ukuran
tubuhku. Ayah memberiku jalan bagaimana menyiasati untuk menakhlukkan sepeda
motor itu dengan membisikkan kata mujarab,”Berfikir dan cari akal yang mudah
untuk menakhlukkan Si Merah.”
Aku mengangguk dan berfikir.
Ayah menyebut motor itu Si Merah dan semenjak itu aku menyebutnya Si Merah
juga. Ayah melihatku lagi dan bertanya,”Sudah dapat ide?” Aku terkejut dan
langsung mengiyakan.
“Coba ayah mau lihat.” Kata
ayah lagi.
Aku hidupkan mesin motor, ketika aku siap
untuk menjalankan Si Merah aku topang kaki sebelah kiriku. Gas aku tekan
pelan-pelan dan dalam waktu bersamaan aku segera meloncat ke atas jok (tempat
duduk pengendara motor) dan berhasil membawa motor laju berkeliling lapangan
berumput. Setelah beberapa kali putaran aku menghampiri ayah dan gas aku
kurangi dan siap untuk berhenti di dekat ayah. Rem aku injak dan Si Merah
berhenti dan aku loncat dari jok. Dengan cekatan ayah memegang Si Merah yang
hampir oleng.
“Bagus. Anak ayah sudah bisa
menakhlukkan Si Merah. Harus tetap latihan. Tapi tidak boleh latihan sendiri.
Harus dengan ayah.” Begitu penjelasan ayah panjang lebar. Aku lihat wajah ayah
yang tampan dan berkumis serta mata tajamnya melihatku. Aku langsung mengambil
sikap dan berkata,”Siap Ayah!”
Ayah mengajakku pulang sambil
mengendarai motor dan aku duduk dibelakang ayah. Ayah tidak mengijinkanku
membawa motor karena melihatku berkeringat dan tampak kelelahan. Angin semilir
menerpa tubuhku dan aku merasa sedikit ngantuk di bonceng ayah. Sebelum aku
jatuh tertidur ayah menghentikan Si Merah disebuah kedai makanan dan minuman.
“Yuk kita makan dan minum
dulu.” Ajak ayah sambil melihat mataku yang lima watt.
Ayah memarkirkan motor di bawah pohon dan
aku segera masuk ke kedai mencari tempat duduk yang masih kosong. Ayah
menghampiriku dan berkata,”Mas Aci, cepet pesan makan di bu Marni.” Aku memesan
nasi ayam goreng kesukaanku dan sedikit sayur bayam tanpa sambal juga es teh
sebagai pengobat rasa dahagaku. Aku melihat ayah memesan nasi campur dengan kombinasi
orek tempe, oseng kangkung dan ikan Cuek dengan sedikit sambal. Ayah juga
memesan kopi pahit dan air mineral gelas. Kami makan dengan lahap.
Udara cukup panas namun
karena tegukan es teh dan hembusan angin membuatku merasa segar. Aku melihat
ayah berkeringat karena memakan sambal dan meminum kopi pahit panas. Wajahnya
tampak lebih cerah.
“Yuk pulang.” Ajak ayah kemudian.
“Sekarang giliranku ya Yah.
Aku yang bonceng Ayah” Pintaku.
Ayah mengangguk dan
memberikan kunci kepadaku, namun ayah tidak membiarkanku sendiri untuk menuju
tempat parkir. Ayah memperhatikanku memasukkan kunci. Aku melangkahkan kakiku
agar seimbang namun ayah sudah duluan naik di atas jok untuk membantuku menjaga
keseimbangan. Brumm..brumm .. brumm.. motor berjalan perlahan-lahan
meninggalkan kedai dan para penikmat makanan bu Marni.
Hari berganti hari, bulan dan
tahun mengikuti irama waktu, aku beranjak remaja, tepatnya duduk di kelas dua
SMA. Ayah semakin tua, rambut ayah mulai
berwarna berkilau putih dan ekonomi ayah semakin membaik dengan bantuan ibu
yang bekerja di instansi pemerintahan. Ayah mulai mampu membeli mobil second. Seperti kegemaranku mengendarai
motor, aku mulai tertarik untuk mencoba mengendarai mobil. Aku mendekati ayah
dan seperti biasa memohon kepada ayah untuk diajari mengendarai mobil.
Ayah tidak dapat menolak
permintaanku. Pelajaran mengendarai mobil dimulai. Aku duduk di samping ayah
dan ayah duduk dibelakang kemudi sambil menjelaskan instrumen-instrumen utama
yang terdapat pada mobil. Langkah berikutnya ayah mulai menghidupan mesin
mobil, kemudian dengan gentle
memasukkan gigi satu sembari menginjak gas perlahan-lahan, maka melajulah mobil
menuju jalanan sepi di sekitar perumahan. Aku perhatikan tangan dan kaki ayah
yang begitu lincah memindahkan gigi dan menginjak kopling. Berikutnya giliranku
mengendarai mobil berputar-putar sekitar perumahan.
Hari demi hari dengan
berjalannya waktu, aku sudah benar-benar menguasai mobil ayah bahkan aku sudah
memiliki SIM. Aku telah duduk di bangku kuliah di Jakarta semester tujuh. Ayah
memberikan kepercayaan sepenuhnya untuk mengendarai mobil. Bahkan ayah mulai
membeli mobil baru untukku. Picanto merah yang sangat hemat BBM dan jarang
mogok.
Jika pulang ke Jawa untuk
mudik Picanto merah menjadi andalan ayah dan aku. Semenjak aku dapat
mengendarai mobil ayah tidak lagi mau untuk duduk dibelakang kemudi. Sebagai
alasannya ayah sering merasa lelah dan mata agak kabur karena usia dan penyakit
gulanya yang mulai ayah rasakan beberapa tahun lalu.
Bisnis ayah semakin lancar
dan akhirnya dapat membeli satu mobil lagi, mobil Avanza warna hitam yang
memuat banyak penumpang. Kami berencana pulang kampung dengan mengendarai
Avanza, tidak lagi Picanto. Rencana itu beberapa kali gagal karena tiba-tiba
ayah kurang sehat. Kami berencana lagi ditahun berikutnya dan ternyata gagal
lagi karena adanya pandemi covid yang sangat membatasi langkah gerak kami.
Hingga akhirnya ayah benar-benar
jatuh sakit. Kali ini adalah yang terburuk. Ayah,.. aku hanya bisa berdoa
semoga ada mukzizat untukmu. Allah memberikan kesembuhan kepada ayah hingga
kita dapat tertawa dan bercanda kembali.
Ayah putramu sangat
merindukan keceriaanmu, wajah garangmu dan tajamnya matamu. Ayah sungguh aku
mencintaimu. Ayah semoga engkau mendengar harapan-harapanku.
Jonggol, 18 Desember 2020.
PROJECT NUBALA
Aamiin.. Sehat sll ayaah...lihat putramu meraih sarjana dan meraih mimpi..ayah akan bangga melihatnya..aku mncintai ayah
ReplyDeleteterima kasih atas commentnya mba
ReplyDelete